• Pengantar: Antara Emosi dan Logika
  • Kenapa EQ Saja Tidak Cukup
  • Bias: Si Penyusup dalam Pikiran
  • Mengapa Critical Thinking adalah Tamengnya

Pernah nggak kamu ketemu orang yang super baik, empatinya tinggi banget, semua orang suka sama dia, tapi… ketika harus ambil keputusan penting, justru malah kelihatan gampang kejebak asumsi? Bisa jadi dia punya EQ (Emotional Quotient) tinggi, tapi belum tentu punya critical thinking yang kuat. Nah, ini topik menarik yang harus kita bahas karena dalam dunia kerja—terutama saat ambil keputusan—dua hal ini harus jalan bareng.

in-house-training-produktif

Orang yang punya EQ tinggi biasanya dikenal sebagai sosok yang bisa mengelola emosinya, memahami perasaan orang lain, menjaga hubungan baik, dan tahu waktu yang pas buat ngomong atau diam. Ini keren banget, nggak semua orang punya kemampuan itu. Tapi… ketika dia terlalu mengandalkan sisi emosional tanpa proses berpikir kritis, dia bisa jadi “korban” dari bias kognitif. Alias, cara berpikirnya bisa terpengaruh oleh emosi, asumsi, bahkan tekanan sosial.

Kita ngomongin soal bias, nih. Bias itu bukan cuma sekadar “pilih kasih” atau “nggak adil”. Bias itu bisa muncul tanpa sadar, kayak saat kita lebih percaya omongan orang yang kita suka, atau langsung setuju dengan ide atasan tanpa mikir dua kali, padahal idenya belum tentu masuk akal. Ini namanya confirmation bias, salah satu jenis bias yang paling sering terjadi di kantor.

Orang dengan EQ tinggi, karena ingin menjaga hubungan baik atau nggak enak hati, cenderung menghindari konfrontasi. Akibatnya? Mereka bisa aja mengabaikan data, fakta, atau sinyal-sinyal yang sebenarnya butuh ditantang atau diuji. Ketika itu terjadi terus-menerus, keputusan yang diambil jadi kurang objektif. Bukan karena orangnya nggak pintar, tapi karena nggak dilatih untuk berpikir kritis.

Contoh gampangnya begini: seorang manajer yang punya EQ tinggi mungkin akan selalu berusaha menjaga keharmonisan tim. Tapi ketika ada anggota tim yang performanya buruk, dia jadi sulit memberikan feedback jujur karena takut menyakiti hati. Atau ketika atasan punya ide yang sebenarnya kurang masuk akal, dia malah langsung bilang, “Wah, ide brilian, Pak!” padahal dalam hatinya ragu. Di sinilah kritis dan empati harus seimbang.

Critical thinking itu ibarat rem buat emosi. Ketika perasaan mendorong kita untuk bertindak cepat atau menyenangkan orang lain, critical thinking ngajak kita buat jeda sejenak, evaluasi informasi, dan melihat dari sudut pandang berbeda. Ini bukan berarti kita jadi orang dingin tanpa perasaan. Justru sebaliknya—dengan kemampuan berpikir kritis, kita bisa menyampaikan hal sulit dengan cara yang cerdas dan empatik.

in-house-training-berpikir-kritis

Makanya, dalam dunia kerja modern, penting banget buat melatih EQ dan critical thinking secara bersamaan. Jangan cuma andalkan empati, tapi lupa untuk mempertanyakan informasi. Jangan juga terlalu logis sampai lupa bahwa kita kerja bareng manusia, bukan robot.

Jadi kesimpulannya, EQ yang tinggi tanpa critical thinking itu seperti mobil mewah tanpa sistem navigasi—jalan sih jalan, tapi bisa nyasar. Supaya nggak gampang kejebak bias, ayo latih cara berpikir kritis kamu dan timmu. Gabungkan logika dan empati, karena itulah kunci sukses di era kerja sekarang.

DARIPADA BINGUNG DAN GAGAL MEMBUAT TRAINING SENDIRI LEBIH BAIK MENGGUNAKAN JASA TRAINER PROFESSIONAL YANG SUDAH PASTI BERHASIL. KONTAK KAMI https://wa.me/62895342954171

Tingkatkan skill dan performa tim Anda bersama kami.

PelatihanSoftSkill #LevelUpYourSkill