• Dilema Brainstorming: Kritis vs. Kreatif
  • Kapan Harus “Mode Kritis” dan Kapan Harus “Mode Kreatif”?
  • Contoh Nyata di Dunia Kerja: Efek Salah Timing
  • Tips Menerapkan In House Training untuk Brainstorming Efektif

Brainstorming yang Efektif: Kapan Harus Kritis dan Kapan Harus Kreatif?

Pernah nggak sih, ikut rapat brainstorming yang mentok? Ide mentah langsung dipotong dengan, “Itu nggak feasible!” atau “Budget-nya nggak masuk akal!”. Hasilnya? Semangat tim anjlok, ide-ide brilian malah dikubur sebelum berkembang.

in-house-training-motivasi

Nah, ini masalah klasik di korporat: kita sering bingung kapan harus kritis dan kapan harus kreatif. Padahal, kunci brainstorming efektif itu ada di timing-nya. Yuk, bahas cara menyeimbangkan keduanya—plus, gimana in house training bisa bantu tim Anda menguasai skill ini.

  1. Jangan Campurkan “Mode Kreatif” dan “Mode Kritis”
    Bayangkan otak kita punya dua tombol:

Tombol Kreatif: Bebas berpikir liar, no idea is stupid, keluarkan semua kemungkinan.

Tombol Kritis: Analisis realistis, filter ide berdasarkan data, budget, dan risiko.

Masalahnya? Kebanyakan tim langsung menekan kedua tombol bersamaan. Hasilnya? Ide setengah matang, diskusi berputar-putar, dan frustrasi.

Contoh kasus:
Tim marketing mau bikin campaign baru. Saat brainstorming, ada yang langsung bilang, “Wah, ide A mahal, nggak mungkin disetujui!” sebelum ide itu bahkan sempat dikembangkan. Akhirnya, yang muncul cuma ide-ide aman… dan hasilnya biasa-biasa saja.

  1. Kapan Harus Kreatif vs. Kritis?
    Fase Kreatif (Divergen):

Saat: 15-30 menit pertama brainstorming.

Tujuan: Kumpulkan sebanyak mungkin ide—tanpa kritik!

Teknik: Mind mapping, crazy 8s, atau role storming (berpikir dari sudut pandang orang lain).

Kata kunci: “Bagaimana jika…?”, “Apa lagi ya?”

Fase Kritis (Konvergen):

Saat: Setelah ide terkumpul.

Tujuan: Evaluasi ide berdasarkan kriteria realistis (budget, timeline, dampak).

Teknik: Dot voting, pros-cons analysis, atau feasibility scoring.

Kata kunci: “Apa risikonya?”, “Apakah solusi ini scalable?”

in-house-training-decision-making
  1. Contoh Nyata: Google & Pixar
    Google: Pakai teknik “10x thinking”—di fase kreatif, mereka mendorong tim untuk “dream big” dulu, baru difilter belakangan. Hasil? Produk seperti Gmail dan Google Maps lahir dari ide yang awalnya dianggap “gila”.

Pixar: Proses kreatif mereka terkenal dengan “plussing”—alih-alih kritik langsung (“Ini jelek”), mereka tambahkan saran (“Bagaimana jika karakternya lebih…?”). Ini menjaga semangat kreatif tanpa mengorbankan kualitas.

  1. Peran In House Training untuk Membiasakan Brainstorming Efektif
    Agar tim bisa otomatis switch antara mode kreatif dan kritis, butuh pelatihan terstruktur. Ini caranya lewat in house training:

Workshop Design Thinking: Latih tim untuk memisahkan fase ideation (kreatif) dan prototyping (kritis).

Simulasi Kasus Nyata: Misal, bagi tim jadi dua grup—satu hanya boleh memberi ide, satu hanya boleh mengevaluasi. Lalu, diskusikan dinamikanya.

Tools Visual: Gunakan whiteboard atau platform digital seperti Miro untuk memetakan ide secara interaktif.

Bonus: Perusahaan yang investasi di in house training untuk critical thinking dan kreativitas, biasanya punya tingkat inovasi 3x lebih tinggi (sumber: PwC Research).

  1. Kesimpulan
    Brainstorming itu seperti masak:

Kreatif = Memasak: Kumpulkan semua bahan, eksperimen dengan rasa.

Kritis = Mencicipi: Evaluasi mana yang enak, mana yang kurang.

Kalau dicampur? Bisa-bisa dapat makanan setengah matang.

Nah, skill mengatur “kapan kritis dan kapan kreatif” ini bisa dipelajari. Butuh bimbingan? Kami siap membantu lewat program in house training khusus untuk tim Anda.

DARIPADA BINGUNG DAN GAGAL MEMBUAT TRAINING SENDIRI LEBIH BAIK MENGGUNAKAN JASA TRAINER PROFESSIONAL YANG SUDAH PASTI BERHASIL. KONTAK KAMI https://wa.me/62895342954171

Tingkatkan skill dan performa tim Anda bersama kami.

PelatihanSoftSkill #LevelUpYourSkill