Cape gak ?
Kesel gak ?
Kamu baru saja menghadapi hari yang berat di kantor. Proyek besar yang kamu kerjakan selama berminggu-minggu gagal total. Atasan kecewa, timmu frustasi, dan kamu merasa hancur. Saat kamu menceritakan masalah ini ke teman dekat, dia hanya berkata, “Udah, jangan sedih. Pasti ada hikmahnya! Kamu harus tetap semangat!”
Bukannya merasa lega, kamu malah makin kesal. “Mereka nggak ngerti apa yang aku rasakan,” batinmu. Selamat datang di dunia toxic positivity.

Apa Itu Toxic Positivity dalam Psikologi?
Toxic positivity adalah keyakinan bahwa seseorang harus tetap positif dan optimis, apa pun yang terjadi, bahkan ketika sedang menghadapi situasi sulit. Dalam psikologi, ini sering dianggap sebagai bentuk penolakan atau penghindaran terhadap emosi negatif.
Ciri-ciri toxic positivity:
- Mengabaikan perasaan sedih atau kecewa.
- Memberi respons seperti, “Lihat sisi baiknya saja!” tanpa mendengarkan masalah sebenarnya.
- Membuat orang merasa bersalah karena memiliki emosi negatif.
Apa Manfaat atau Sisi Baik Toxic Positivity?
Toxic positivity sebenarnya muncul dari niat baik. Orang-orang yang melakukannya biasanya ingin membantu atau meringankan beban. Mereka berharap, dengan bersikap optimis, orang lain akan merasa lebih baik.
Beberapa sisi baiknya:
- Mendorong harapan: Kadang, sedikit optimisme memang bisa memotivasi seseorang untuk bangkit.
- Mengingatkan untuk tidak terlalu larut dalam kesedihan.
- Menyebarkan energi positif di lingkungan.
Namun, sisi baik ini hanya berlaku jika dilakukan dengan seimbang.
Bahaya Toxic Positivity
Meski berniat baik, toxic positivity bisa berdampak buruk jika diterapkan terus-menerus:
- Mengabaikan Emosi Negatif
Ketika seseorang terus diminta “tetap positif,” mereka jadi merasa tidak punya ruang untuk mengungkapkan kesedihan atau kemarahan. Ini bisa membuat emosi negatif menumpuk. - Merasa Tidak Dimengerti
Respons seperti, “Semua akan baik-baik saja,” seringkali terdengar seperti penolakan terhadap apa yang sedang dirasakan. Akibatnya, orang yang sedang sedih merasa sendirian. - Menekan Diri Sendiri
Ketika seseorang percaya bahwa mereka harus selalu bahagia, mereka cenderung menyalahkan diri sendiri saat merasa sedih atau gagal. - Menghambat Proses Penyembuhan
Menerima emosi negatif adalah bagian penting dari proses penyembuhan. Jika ini diabaikan, luka emosional bisa semakin dalam.

Bagaimana Cara Menghadapi Toxic Positivity yang Sehat?
1. Akui Perasaanmu
Langkah pertama adalah jujur pada diri sendiri. Tidak apa-apa merasa sedih, marah, atau kecewa. Semua emosi itu valid dan manusiawi.
- Contoh: Jika kamu gagal dalam sesuatu, akui bahwa kamu kecewa. Jangan buru-buru mengatakan, “Aku baik-baik saja.”
2. Temukan Dukungan yang Tepat
Pilih orang-orang yang mau mendengarkan tanpa menghakimi. Cari teman atau keluarga yang bisa menjadi tempat kamu berbagi perasaan dengan nyaman.
- Tips: Jika perlu, konsultasikan dengan psikolog untuk membantumu memproses emosi.
3. Beri Ruang untuk Emosi Negatif
Ingat, perasaan negatif bukan musuh. Mereka adalah sinyal dari tubuh dan pikiranmu bahwa ada sesuatu yang perlu diperhatikan.
- Latihan: Luangkan waktu untuk menulis jurnal tentang apa yang kamu rasakan hari ini.
4. Hindari Memberi Respon “Template”
Ketika ada teman yang curhat, jangan buru-buru memberikan kalimat seperti, “Semangat, ya!” Dengarkan dulu cerita mereka. Tunjukkan empati.
- Contoh: Coba katakan, “Aku bisa bayangkan betapa beratnya ini buatmu. Ada yang bisa aku bantu?”
5. Praktikkan Positivitas yang Seimbang
Positivitas yang sehat adalah yang tetap menghormati emosi negatif. Kamu bisa mencari sisi baik dari sebuah masalah tanpa mengabaikan rasa sakit yang dirasakan.
- Contoh: Setelah menangis karena gagal, kamu bisa berkata, “Ini menyakitkan, tapi aku akan belajar dari pengalaman ini.”
Contoh Praktis: Menghadapi Toxic Positivity
Bayangkan kamu menghadapi perceraian. Temanmu berkata, “Pasti ini rencana terbaik Tuhan. Jangan terlalu larut.”
Bukannya merasa nyaman, kamu malah merasa tersinggung. Akhirnya, kamu memutuskan untuk:
- Jujur pada diri sendiri bahwa kamu butuh waktu untuk bersedih.
- Curhat kepada teman yang mau mendengarkan tanpa menghakimi.
- Meluangkan waktu untuk terapi agar bisa memahami perasaanmu lebih dalam.
Hasilnya? Kamu bisa melewati proses ini dengan lebih sehat, tanpa tekanan untuk “selalu kuat.”
Kesimpulan
Toxic positivity mengajarkan kita pentingnya keseimbangan. Optimisme itu baik, tapi emosi negatif juga perlu dihormati. Jadi, jika kamu atau orang di sekitarmu sedang menghadapi masalah, berikan ruang untuk merasakan apa yang mereka rasakan.
Ingat, kamu tidak harus selalu kuat atau bahagia. Menjadi manusia berarti menerima semua warna emosi—baik yang terang maupun yang gelap. Dan itu, sahabatku, adalah bagian dari perjalanan hidup yang sebenarnya. 😊
Profil coach Roy Biantoro
Seorang pengusaha muda yang sering berbagi ke berbagai perusahaan, instansi pemerintah dan lembaga pendidikan. Coach Roy udah membagikan ilmu di bidang penjualan (selling), komunikasi, kepemimpinan, kerjasama tim, pelayanan serta bagaimana meningkatkan motivasi tim.
Ayo rasakan perubahan di tim Anda dengan training bersama coach Roy Biantoro. Hubungi kami di 08954 1283 3285

