Microaggression itu biasanya komentar atau tindakan kecil yang kesannya nggak frontal, tapi niatnya ngejatuhin atau ngecilin. Ini sering kali terselubung, jadi bisa bikin kamu ngerasa ragu, “Apa tadi dia nyindir aku ya?” atau “Kok rasanya nggak enak, tapi sepele banget?”
Langkah pertama, jangan langsung bereaksi emosional. Ambil napas, tenangin diri, dan coba evaluasi situasi. Kadang, microaggression itu muncul di tempat kerja atau lingkup sosial yang formal, jadi penting buat kamu tetap tenang biar nggak ngasih reaksi yang malah memperkeruh keadaan. Misalnya, ada yang bilang, “Kamu kok beruntung banget bisa dapet posisi ini, ya?” seolah-olah kesuksesan kamu cuma kebetulan. Daripada langsung ngegas atau baper, coba simpan reaksi kamu dan dengerin dulu respon dia selanjutnya. Ini ngebantu kamu buat nyari tahu apakah maksudnya beneran negatif atau cuma asumsi kita aja.
Lalu, pakai pertanyaan buat ngulik maksudnya. Misalnya, kalau ada yang bilang, “Kok kamu bisa sih ngerti soal teknologi? Bukannya itu agak rumit?” Kamu bisa jawab dengan tenang, “Oh, maksud kamu gimana, ya? Bisa dijelasin lebih detail?” Dengan respon kayak gini, kamu nggak cuma menahan diri, tapi juga bikin dia mikir ulang. Kalau dia emang bermaksud nyindir, kadang-kadang dia jadi bingung sendiri, dan malah ketahuan maksud aslinya. Dengan begitu, kamu kasih kesan kalau kamu punya kontrol diri yang kuat dan nggak gampang kebawa emosi.
Kalau kamu mau bikin mereka mikir tanpa harus langsung nyerang, kamu bisa pakai jawaban yang tegas tapi sopan. Misalnya, kamu bilang, “Saya sih senang belajar hal baru, jadi rasanya natural buat saya paham di bidang ini.” Ini bukan cuma ngasih tahu kalau kamu layak ada di posisi itu, tapi juga ngasih pesan kalau kamu sadar dengan kualitas diri kamu sendiri. Kamu menegaskan pendirian tanpa harus ngomong keras atau kasar, dan ini powerful banget buat nunjukin kalau kamu nggak mudah di-gocek sama sindiran halus.
Contoh lain, bayangin kamu lagi di pertemuan kerja, dan ada yang bilang, “Oh, kamu cepat sekali ya menyelesaikan laporan. Kira-kira teliti nggak ya?” Nah, di sini kamu bisa balas dengan tenang, “Thanks, saya memang prioritasin kecepatan, tapi tetap teliti kok! Kalau ada yang mau dicek, saya senang kalau ada feedback.” Dengan jawaban kayak gini, kamu nggak hanya menunjukkan kesadaran diri tapi juga fleksibilitas yang bikin orang jadi mikir dua kali buat nyindir lagi.
Terakhir, kalau microaggression itu terus-terusan terjadi dan kamu udah capek ngadepinya, nggak ada salahnya buat nyari bantuan atau curhat ke orang yang bisa dipercaya. Kadang, bicara sama atasan atau HR bisa jadi solusi kalau situasinya udah nggak nyaman. Ini juga menunjukkan kalau kamu punya keberanian untuk speak up secara profesional. Dan kalau dirasa perlu, kamu bisa latihan buat ngadepin situasi ini, biar makin terbiasa merespons dengan tenang.
Jadi, intinya, saat menghadapi microaggression, kendalikan emosi dulu, tanya balik buat ngulik maksud, jawab dengan sopan tapi tegas, dan kalau memang perlu, bicarakan dengan pihak yang bisa bantu. Dengan langkah-langkah ini, kamu nggak hanya menjaga harga diri tapi juga tetap profesional di situasi yang sulit.
Roy Biantoro
Seorang pengusaha muda yang sering berbagi ke berbagai perusahaan, instansi pemerintah dan lembaga pendidikan. Coach Roy udah membagikan ilmu di bidang penjualan (selling), komunikasi, kepemimpinan, kerjasama tim, pelayanan serta bagaimana meningkatkan motivasi tim.
Ayo rasakan perubahan di tim Anda dengan training bersama coach Roy Biantoro. Hubungi kami di 08954 1283 3285