Kamu lagi ngobrol sama teman baikmu. Awalnya obrolan berjalan santai, bahas tentang rencana akhir pekan atau film terbaru. Tapi tiba-tiba, ketika topik beralih ke sesuatu yang lebih pribadi atau sensitif, kamu merasakan perubahan suasana hati temanmu. Wajahnya berubah tegang, nada bicaranya jadi lebih ketus, atau mungkin dia tiba-tiba diam dan menarik diri. Ini bisa jadi tanda bahwa temanmu “terpicu” atau mengalami trigger dalam komunikasi.
Nah, dalam komunikasi, triggers ini memang fenomena yang sering kita jumpai, tapi nggak selalu mudah dipahami.
Apa Itu Triggers dalam Komunikasi?
Secara sederhana, triggers dalam komunikasi adalah reaksi emosional yang muncul secara mendadak ketika seseorang merasa tersentuh, terganggu, atau bahkan terluka oleh kata-kata, topik, atau nada pembicaraan tertentu. Triggers ini seringkali berkaitan dengan pengalaman masa lalu, perasaan yang belum terselesaikan, atau sensitivitas pribadi. Misalnya, seseorang yang pernah mengalami perundungan mungkin akan merasa terganggu jika pembicaraan tiba-tiba beralih ke pengalaman bullying atau topik yang terasa dekat dengan luka lama.

Triggers dalam komunikasi bisa muncul tanpa disadari. Ketika seseorang merasa terpicu, reaksi emosional mereka bisa bervariasi — dari perasaan marah, sedih, kecewa, hingga merasa tidak dihargai atau diserang. Dan ini bisa langsung mengubah suasana obrolan, membuat komunikasi jadi sulit atau bahkan terputus sama sekali.
Bagaimana Mencegah Terjadinya Triggers Saat Berkomunikasi?
Mencegah triggers sebenarnya bukan berarti menghindari semua topik yang berpotensi sensitif. Sebaliknya, ada beberapa langkah yang bisa membantu menjaga komunikasi tetap sehat dan meminimalkan risiko terjadinya triggers:
- Kenali dan Hargai Batasan
Saat berbicara, penting untuk menyadari bahwa setiap orang punya batasan atau area sensitifnya masing-masing. Jadi, cobalah untuk peka terhadap reaksi lawan bicaramu. Misalnya, jika kamu mulai membahas topik tertentu dan melihat perubahan pada ekspresi atau sikapnya, mungkin ini saatnya untuk bertanya, “Topik ini bikin kamu nggak nyaman, ya?” atau “Boleh nggak kalau kita pindah topik?” - Gunakan Bahasa yang Empatik dan Tidak Menghakimi
Bahasa yang empatik dan tidak menghakimi adalah cara efektif untuk membuat lawan bicara merasa nyaman. Menghindari kata-kata yang terlalu menantang atau sarkastis juga membantu mencegah reaksi emosional yang berlebihan. Misalnya, daripada berkata, “Kamu pasti nggak ngerti, deh,” coba gunakan, “Aku paham ini mungkin susah dimengerti, tapi gimana kalau kita bahas pelan-pelan?” - Berikan Ruang untuk Mendengarkan Secara Aktif
Ketika kita berusaha mendengarkan tanpa memotong atau buru-buru memberi tanggapan, lawan bicara merasa lebih dihargai. Ini mengurangi risiko trigger karena mereka merasa aman untuk berbicara tanpa takut dihakimi atau disalahpahami. Mendengarkan secara aktif juga memberi kita waktu untuk memahami apa yang sebenarnya mereka rasakan sebelum memberikan respons. - Perhatikan Nada Suara dan Bahasa Tubuh
Sering kali, nada suara dan bahasa tubuh kita bisa memicu reaksi emosional tanpa kita sadari. Nada yang terdengar agresif atau bahasa tubuh yang terlalu mendominasi bisa menimbulkan ketegangan. Pastikan nada suaramu tetap tenang dan terbuka, dan cobalah untuk bersikap netral atau bersahabat secara fisik, misalnya dengan postur yang rileks.
Bagaimana Mengatasi Seseorang yang Sudah Terkena Triggers?
Jika kamu sudah melihat bahwa lawan bicaramu terpicu dan bereaksi secara emosional, langkah terbaik adalah tetap tenang dan hadir untuk mendukung. Berikut adalah beberapa cara yang bisa membantu:
- Berikan Ruang dan Waktu
Terkadang, seseorang butuh waktu untuk meredakan emosinya sebelum bisa kembali berbicara dengan tenang. Berikan ruang untuk mereka, dan jangan paksa mereka bicara jika mereka belum siap. Kamu bisa bilang, “Kita bisa bahas ini nanti, kalau kamu udah siap.” - Tawarkan Validasi Tanpa Menghakimi
Validasi artinya kamu mengakui perasaan mereka tanpa menghakimi. Misalnya, jika mereka terlihat marah, kamu bisa mengatakan, “Aku paham kalau kamu merasa marah. Itu wajar, kok.” Dengan cara ini, mereka tahu bahwa kamu mengerti dan tidak sedang meremehkan apa yang mereka rasakan. - Arahkan pada Fokus Positif atau Solusi
Setelah emosi mereka mulai mereda, coba arahkan percakapan ke fokus yang lebih positif atau mencari solusi. Namun, hindari terlihat seperti ingin “memperbaiki” keadaan terlalu cepat, karena ini bisa terkesan mengabaikan perasaan mereka. Ajukan pertanyaan sederhana seperti, “Apa yang bisa aku lakukan untuk membantu?” atau “Gimana caranya kita bisa menyelesaikan ini bareng-bareng?” - Ajukan Pertanyaan Terbuka untuk Memahami Lebih Jauh
Jika mereka sudah mulai tenang, kamu bisa ajukan pertanyaan terbuka untuk memahami apa yang sebenarnya mengganggu mereka. Pertanyaan seperti, “Apa yang bikin kamu ngerasa begitu?” atau “Ada hal tertentu yang bikin kamu nggak nyaman, nggak?” bisa membuka jalan bagi mereka untuk berbagi lebih banyak.

Contoh Situasi Trigger dalam Komunikasi
Misalnya, kamu sedang ngobrol dengan seorang teman yang bercerita tentang masalah di kantornya. Tanpa sadar, kamu mengomentari, “Ah, cuma itu aja, kok masalah.” Bagi kamu mungkin hal itu tidak terasa berat, tapi bagi temanmu yang sedang merasakan beban kerja atau punya pengalaman buruk di tempat kerja sebelumnya, komentar ini bisa memicu perasaan bahwa pengalamannya diremehkan.
Dalam situasi seperti ini, begitu kamu melihat perubahan di wajah temanmu, kamu bisa segera mengatakan, “Maaf kalau komentarku tadi terdengar meremehkan. Aku benar-benar nggak bermaksud begitu. Apa yang kamu alami pasti berat banget buat kamu.”
Manfaat Memahami dan Mengelola Triggers dalam Komunikasi
Dengan memahami triggers, kita jadi lebih peka dalam berkomunikasi dan mampu mencegah konflik yang tidak perlu. Ini juga meningkatkan kualitas hubungan kita dengan orang lain, karena mereka akan merasa aman dan nyaman saat berbicara dengan kita. Saat kita mampu mengelola triggers, kita menciptakan suasana komunikasi yang lebih terbuka, positif, dan mendalam.
Menyadari triggers juga membuat kita lebih bijak dalam berkomunikasi. Alih-alih langsung bereaksi secara emosional, kita belajar untuk mendengarkan dulu dan merespons dengan lebih tenang. Hal ini sangat bermanfaat di berbagai hubungan, baik di tempat kerja, dalam keluarga, maupun dalam pertemanan.
Kesimpulan
Triggers dalam komunikasi adalah bagian alami dari interaksi, tapi kita bisa belajar untuk mengelola dan meresponsnya dengan bijak. Dengan mengenali tanda-tanda trigger, menggunakan bahasa yang empatik, dan memberikan ruang saat dibutuhkan, kita bisa menjaga komunikasi tetap harmonis. Mampu mengelola trigger akan membantu kita membangun hubungan yang lebih kuat dan berkesan dengan orang-orang di sekitar kita.
Profil coach Roy Biantoro
Seorang pengusaha muda yang sering berbagi ke berbagai perusahaan, instansi pemerintah dan lembaga pendidikan. Coach Roy udah membagikan ilmu di bidang penjualan (selling), komunikasi, kepemimpinan, kerjasama tim, pelayanan serta bagaimana meningkatkan motivasi tim.
Ayo rasakan perubahan di tim Anda dengan training bersama coach Roy Biantoro. Hubungi kami di 08954 1283 3285